إنَّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله، وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله.
ألا وإن أصدق الكلام كلام الله، وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار.
Amma ba’du:
Sebagian ikhwah Salafiyyun telah bertanya kepadaku tentang syubhat yang dia dengar dari sebagian orang-orang yang memiliki keutamaan yang membuatnya bingung dan dia meminta kepadaku untuk menjawabnya, maka saya menjawabnya pada makalah yang ringkas ini. Saya memohon kepada Allah agar menjadikannya bermanfaat bagi saudara-saudaraku Salafiyyun di semua tempat.
Syubhat tersebut adalah:Salafiyyun yang suka membantah manusia dan mencela mereka, kita tidak mendapati semacam yang mereka lakukan ini ada di masa para ulama kibar, seperti Asy-Syaikh Al-Imam Ibnu Baz, Al-Imam Ibnu Utsaimin dan Al-Imam Al-Albany (
perhatikan juga syubhat si Khabits Firanda yang berupaya membedakan manhaj Asy-Syaikh Rabi dari manhaj para ulama rahimahumullah tersebut -pen).
Kami tidak mendengar seorang pun yang datang dari masayaikh tersebut ada yang mengatakan, “Fulan berkata demikian dan fulan berkata demikian. Majelis para ulama tersebut semuanya berisi: “Allah berfirman demikian, Rasulullah bersabda demikian, dan para shahabat berkata demikian.” Majelis yang isinya ilmu. Seandainya kalian membaca Al-Qur’an atau As-Sunnah itu lebih bermanfaat bagi kalian dibandingkan ini.
Jawaban terhadap syubhat ini dari banyak sisi, diantaranya:Pertama: Di masa para ulama tersebut, orang-orang yang menyelisihi kebenaran itu mereka tidak berani menampakkan berbagai penyimpangan, syubhat dan celaan terhadap manhaj Salafy semacam ini, maka tatkala para ulama tersebut wafat, mereka pun berani menampakkannya.
Kedua: Para ulama tersebut memiliki bantahan-bantahan terhadap sekelompok orang-orang yang menyelisihi kebenaran di masa mereka yang itu adalah perkara yang diketahui dan masyhur, dan mereka juga memiliki vonis sesat dan mubtadi’ terhadap orang-orang yang menyelisihi kebenaran yang buktinya tersebar dan tidak diingkari oleh orang yang hanya sedikit mengetahui perjalanan ilmiyah mereka. Maka kenapa ada penafian secara mutlak semacam ini?!
Al-Allamah Al-Utsaimin rahimahullah berkata di dalam Kitabul Ilmi hal. 23: “Tidak diragukan lagi bahwasanya menuntut ilmu termasuk amal yang paling utama, bahkan termasuk jihad fi sabilillah. Terlebih lagi di masa kita ini ketika berbagai bid’ah bermunculan di tengah-tengah masyarakat Islam dan menyebar serta semakin banyak. Demikian juga muncul banyak kebodohan dari orang-orang yang lancang berfatwa tanpa ilmu serta muncul perdebatan yang dilakukan oleh banyak manusia. Tiga perkara ini semuanya mewajibkan para pemuda untuk semangat menuntut ilmu.
Pertama: berbagai bi’dah bermunculan dan nampak kejahatannya.
Kedua: adanya orang-orang yang lancang berfatwa tanpa ilmu.
Ketiga: perdebatan yang banyak dilakukan oleh manusia pada perkara-perkara yang telah jelas bagi para ulama, tetapi muncul orang yang lancang mendebatnya tanpa ilmu.”
Saya berharap pernyataan beliau ini cukup bagi siapa saja yang menginginkan kebenaran.
Ketiga: Anggaplah –padahal faktanya tidak demikian- para masayikh yang kamu klaim bahwa mereka dahulu tidak suka membantah terhadap orang-orang yang menyelisihi kebenaran dan mereka hanya diam serta majelis mereka keadaannya seperti yang kamu sebutkan, jawabannya:
- Apakah menurutmu mereka yang menjadi teladan, ataukah jalan yang ditempuh salafush shalih?!
- Ataukah kamu mengatakan bahwa salafush shalih dahulu mereka juga demikian yaitu tidak suka membantah orang-orang yang menyimpang?!
- Tidakkah kamu mengetahui perkataan mereka di dalam membantah orang-orang yang menyelisihi kebenaran dan mengikuti hawa nafsunya?!
- Tidakkah kamu membaca yang demikian itu di kitab-kitab para ulama?!
- Tidakkah kamu dengar di majelis-majelis yang kamu sebutkan tentang para ulama besar itu?!
- Ataukah mereka menguburnya dan menyembunyikannya dari para penuntut ilmu agar mereka tidak dituduh menjadi orang-orang yang melampaui batas?!
- Berapakah para ulama Salafiyyun di masa ini; sepuluh, dua puluh, atau tiga puluh?!
Para salaf yang membantah orang-orang yang menyimpang sangat banyak.
- Kemudian, apakah kebenaran diukur dengan jumlah orang yang membantah kesalahan?!
- Ataukah ukurannya adalah apakah yang berbicara tersebut berdasarkan kebenaran atau kebathilan?!
Jangan sampai kamu mengatakan: “Itu adalah kabar orang-orang yang lemah.”
Bahkan para ulama itu adalah orang-orang yang terpercaya, adil dan dikenal oleh ulama yang lain.
Kemudian para ulama yang melakukan bantahan itu mereka membawakan bukti berupa rekaman suara dan tulisan-tulisan orang yang dibantah yang terdapat di situsnya dan masyhur darinya serta telah memenuhi dunia.
Jangan sampai kamu mengatakan: “Mereka salah menukil atau telah berburuk sangka.”
Karena sesungguhnya ucapan orang yang menyimpang tersebut lebih jelas dari matahari yang tidak butuh kepada orang yang mengingkari …
Ucapan orang yang menyimpang dan dibantah tersebut jelas menunjukkan prinsip-prinsip yang menyelisihi manhaj salafus shalih, namun dia tidak mau bertaubat padahal telah dinasehati dan diminta agar bertaubat, tetapi tidak ada hasilnya.
Maka kenapa membela mati-matian orang-orang yang menyelisihi kebenaran, menentang, terus melakukan kesalahan dan pura-pura buta terhadap penyimpangannya?!
Keempat: Ajakan untuk membaca Al-Qur’an, membaca As-Sunnah serta kitab-kitab ilmu, ini berpahala dan tidak diingkari.
Tetapi bukankah bantahan terhadap orang yang menyelisihi kebenaran termasuk jihad yang agung?!
Bukankah bantahan terhadap orang yang menyelisihi kebenaran termasuk ilmu yang bermanfaat bagi umat yang mana sekarang ini jarang orang yang mau melakukannya, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh para ulama?!
Syaikhul Islam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata di dalam Miftaah Daaris Sa’aadah 1/271:
“Jihad ada dua macam: jihad dengan tangan dan senjata, dan ini yang ikut andil banyak. Jihad yang kedua adalah dengan hujjah (dalil) dan penjelasan, dan ini merupakan jihad orang-orang khusus dari orang-orang yang mengikuti para rasul dan ini merupakan jihad para imam, dan ini merupakan jihad yang paling utama dari dua jenis jihad ini, karena besarnya kemanfaatannya, beratnya bekal serta banyaknya orang-orang yang memusuhinya.”
Al-Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmy rahimahullah berkata di dalam Ta’siisul Ahkaam 5/264:
“Jihad dengan ilmu dan lisan adalah menuntut ilmu syariat serta mempelajarinya dengan langsung berguru kepada masyaikh salafiyyun berupa ilmu Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi was sallam serta jalan yang ditempuh oleh salafush shalih. Kemudian jihad dengan cara menyebarkannya serta bersungguh-sungguh mengajak manusia untuk istiqamah di atasnya dengan mengajar, khutbah dan ceramah. Lalu berjihad melawan orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli bid’ah yang keluar dari dalil-dalil syariat dan menempuh jalan hizbiyah dan yang lainnya. Berjihad melawan mereka ini dengan cara menjelaskan bahaya mereka serta menampakkan rusaknya keyakinan mereka. Ini semua termasuk jihad fii sabilillah.”
Sebagai penutup saya berharap kepada saudara-saudaraku Salafiyyun agar mereka memperhatikan dua nukilan berikut ini dan hendaklah mereka bersabar menghadapi ujian ketika mendakwahkan manhaj Salaf berupa keterasingan yang sangat.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata di dalam Madaarijus Saalikiin 3/195:
“Jika seorang mu’min yang dikaruniai oleh Allah berupa bashirah di dalam agamanya, pemahaman terhadap sunnah Rasul-Nya serta memahami Kitab-Nya dan telah Allah tunjukkan kepadanya keadaan manusia yang tenggelam dalam berbagai hawa nafsu, bid’ah dan kesesatan serta menyimpangnya mereka dari jalan yang lurus yang dahulu ditempuh oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam dan para shahabat beliau, jika dia ingin menempuh jalan ini maka hendaklah dia mempersiapkan dirinya untuk menghadapi celaan orang-orang bodoh dan ahli bid’ah, hinaan, perendahan, upaya manusia menjauhkan orang lain dirinya serta tahdzir mereka darinya, sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulu mereka dari kalangan orang-orang kafir terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam dan para pengikut beliau. Jika dia mendakwahi mereka dan membantah kesesatan mereka, tibalah kiamat mereka dan mereka pun berusaha melancarkan berbagai makar jahat dan melemparkan tali-tali untuk menjeratnya dengan mengerahkan pasukan berkuda dan dan pasukan yang berjalan kaki. Jadi dia akan menjadi orang yang asing karena rusaknya agama kebanyakan manusia dan asing karena dia berpegang teguh dengan As-Sunnah sementara mereka berkubang dalam bid’ah. Dia asing dalam keyakinannya karena rusaknya keyakinan mereka, asing dalam shalatnya karena buruknya shalat mereka, asing pada jalan yang dia tempuh karena mereka menyimpang dari jalan yang lurus dan menempuh jalan yang rusak, asing dalam penyandaran madzhab dia karena menyelisihi madzhab mereka, asing di dalam pergaulannya karena dia tidak bergaul dengan mereka dengan mengikuti hawa nafsu mereka.”
Al-Allamah Abdurrahman Al-Mu’allimy di dalam Shada’ud Dujunah Fii Fashlil Bid’ah anis Sunnah hal. 63:
“Saya telah merenungkan jenis-jenis kerusakan, lalu saya menjumpai bahwa mayoritasnya muncul sebagai akibat mematikan As-Sunnah atau memunculkan bid’ah. Dan saya menjumpai mayoritas kaum muslimin nampak dari mereka semangat untuk mengikuti As-Sunnah dan menjauhi bid’ah, hanya saja mereka terkaburkan perkaranya. Akibatnya mereka menganggap banyak perkara di dalam As-Sunnah sebagai bid’ah dan menganggap banyak perkara bid’ah sebagai ajaran As-Sunnah. Setiap kali ada ulama yang bangkit menyatakan, “Ini ajaran As-Sunnah atau ini adalah bid’ah.” Bangkitlah puluhan atau ratusan tokoh agama yang dianggap oleh orang-orang awam sebagai ulama untuk menentangnya. Mereka berusaha membungkam mulutnya, sekuat tenaga memvonisnya sebagai orang yang sesat, mencelanya, mengeluarkan fatwa tentang wajibnya untuk membunuhnya atau memenjarakannya atau memboikotnya, berusaha menyakitinya, keluarganya dan saudara-saudaranya. Mereka ini didukung oleh tiga jenis ulama rusak; yaitu ulama yang melampaui batas, ulama yang tertipu dengan dunia dan ulama yang kurang pengetahuannya terhadap As-Sunnah, walaupun dia luas ilmunya pada bidang yang lain.”
Saudaramu yang mencintaimu
Ahmad bin Umar Bazmul
21 Dzulqa’dah 1433 H
[Sumber: Website Sahab•Net (
http://bit.ly/1749WPP]