Asy-Syaikh Abu Ammar Ali Al-Hudzaify hafizhahullah
Pertanyaan:
Apakah di sana ada ulama kibar dan selain kibar ?
Jawaban:
Keadaan seseorang termasuk ulama berdasarkan persaksian dari para ulama bahwa dia termasuk ulama dan dia memiliki kemampuan untuk berfatwa, mengajar, dan diambil ilmunya, dan ditimba darinya, keadaan dia yang memiliki sifat-sifat ini maknanya dia boleh diambil faedah darinya, dan boleh menuntut ilmu dengan bimbingannya, dan dia berhak untuk berfatwa. Dan jika dia mampu menghadapi perkara-perkara nazilah (besar atau kontemporer) maka dia teranggap ahli dalam perkara nazilah. Hanya saja hal ini bukan berarti bahwa semua ulama berada dalam level yang sama. Ini adalah perkara yang penting yang mana kita melihat ada orang yang merancukannya, dan dia tidak mengetahui dari mana dia membawa perancuan semacam ini.
Keadaan seseorang sebagai ulama, memiliki keahlian, ditazkiyah, para ulama memujinya dengan mengatakan bahwa si fulan adalah seorang ulama, diambil faedahnya, dimintai fatwa, ini semua adalah sebuah perkara, kedudukannya tidak dicela.
Hanya saja dengan menganggap bahwa semua ulama berada dalam level yang sama maka ini adalah penilaian yang tidak benar. Bahkan yang benar para ulama itu bertingkat-tingkat derajatnya, dan ini merupakan karunia dari Allah yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki.
Kita buat permisalan bagi ikhwah pada majelis-majelis yang lalu bahwa keumuman manusia mereka membedakan antara para dokter.
Seorang dokter yang baru lulus dari kuliah kedokteran dalam hitungan pekan atau bulan atau baru beberapa tahun saja, apakah dia sama dengan dokter lain yang telah menjalankan profesinya selama 50 tahun, dia melakukan operasi bedah, menangani luka-luka, bekerja di rumah sakit, apakah dokter baru tadi sama dengan dokter yang ini?!
Keumuman manusia menolak untuk menyamakan antara yang ini dan yang itu. Tetapi jika kalian bertanya: “Apakah dia seorang dokter?” Mereka akan menjawab: “Ya dia seorang dokter, tanpa diragukan lagi.”
Kita memuliakannya, tetapi untuk menganggapnya sama maka tidak. Ucapan semacam ini (menyamakan semua dokter) tidak benar, baik secara akal maupun kebiasaan manusia.
Jika misalnya saya –terpaksa kita sebutkan sebagian orang– memuliakan Asy-Syaikh Al-Fadhil Abdullah Al-Bukhary, beliau adalah seorang syaikh yang mulia dan termasuk jajaran ulama, tetapi tidak mungkin saya akan menyamakan beliau dengan Asy-Syaikh Rabi’. Benar atau tidak?! Siapa yang akan menyamakan antara beliau berdua?!
Jika saya memuliakan dan benar-benar mencintai Asy-Syaikh Muhammad bin Hady –saya mencintai beliau dan Allah mengetahui hal tersebut– demikian juga saya mencintai Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary, karena semunya adalah masayikh kita.
Tetapi tidak mungkin saya akan menyamakan Asy-Syaikh Muhammad bin Hady dengan Asy-Syaikh Ibnu Baz. Apakah kalian paham hal ini ya ikhwah?!
Tetapi tidak mungkin saya akan menyamakan Asy-Syaikh Muhammad bin Hady dengan Asy-Syaikh Ibnu Baz. Apakah kalian paham hal ini ya ikhwah?!
Ini adalah masalah yang sangat penting sekali.
Namun maksudnya bukanlah untuk merendahkan ulama yang ini dan membenturkannya, tetapi sepantasnya untuk dibedakan antara ulama yang mereka merupakan ulama kibar (sepuh dan senior) yang telah sekian tahun yang lamanya dalam menuntut ilmu dan belajar serta telah menghabiskan sekian tahun lamanya, ada yang 50 tahun, 40 tahun, 30 tahun, sekian tahun ini mengokohkan dan menampakkan bahwa mereka berada pada jalan yang satu dan bahwasanya mereka mendapatkan taufiq sehingga sesuai dengan kebenaran dalam menghadapi setiap nazilah pada semua fatwa.
Namun maksudnya bukanlah untuk merendahkan ulama yang ini dan membenturkannya, tetapi sepantasnya untuk dibedakan antara ulama yang mereka merupakan ulama kibar (sepuh dan senior) yang telah sekian tahun yang lamanya dalam menuntut ilmu dan belajar serta telah menghabiskan sekian tahun lamanya, ada yang 50 tahun, 40 tahun, 30 tahun, sekian tahun ini mengokohkan dan menampakkan bahwa mereka berada pada jalan yang satu dan bahwasanya mereka mendapatkan taufiq sehingga sesuai dengan kebenaran dalam menghadapi setiap nazilah pada semua fatwa.
Maka tidak mungkin untuk kita samakan dengan ulama lain yang masih muda.
Jika saya mengatakan: “Ada ulama kibar dan ada yang selain mereka.”
Maka dari mana engkau memahami dengan mengatakan: “Berarti engkau merendahkan mereka!” Dari mana engkau memahami semacam ini?! Bagaiamana engkau mengetahui bahwa itu merupakan celaan?!
Maka dari mana engkau memahami dengan mengatakan: “Berarti engkau merendahkan mereka!” Dari mana engkau memahami semacam ini?! Bagaiamana engkau mengetahui bahwa itu merupakan celaan?!
Jadi –baarakallahu fiikum– wajib untuk kalian bisa membedakan dengan benar perkara ini.
Demi Allah, hal itu bukan merupakan perendahan. Dikatakan bahwa mereka adalah para ulama yang diambil faedahnya dan pantas untuk belajar di bawah bimbingan mereka, tetapi sepantasnya engkau untuk membedakan dengan tepat dan mengerti.
Saudara kami yang mulia yaitu Abdullah hafizhahullah seorang penuntut ilmu yang kami sama-sama belajar kepada Syaikh (Muqbil) rahimahullah. Ketika ada yang mengatakan: “Al-Akh Ali Al-Hudzaify berfatwa demikian.” Dia menjawab: “Al-Akh Ali kita terima sepenuhnya, tetapi saya menginginkan yang lebih senior darinya.” Apakah saya akan memahami dari perkataan ini bahwa dia mencela saya atau mencaci saya?!
Dia berhak untuk menyebut Ali dengan sebutan Ali, karena kami belajar bersama-sama. Tetapi engkau jangan (kalimat yang kurang jelas –pent) dengan Ali! Dari mana engkau memahami bahwa hal ini merupakan bentuk penghinaan?!
Dan kita katakan –baarakallahu fiikum– sesungguhnya kebanyakan fitnah bersumber dari sini. Yaitu dari pemahaman yang terbalik ini. Para Ulama Kibar tidak diingkari oleh seorang pun ya ikhwah.
Dahulu Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin termasuk Ulama Kibar di Mamlakah (Kerajaan Arab Saudi –pent), dan tidak ada seorang pun yang menentang fatwa-fatwa mereka.
Para ulama juga memiliki spesialiasi atau kekhususan dalam bidang ilmu. Ketika sampai kepada Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz bahwa sebagian orang mencela Musnad Ahmad, maka beliau menulis surat kepada Asy-Syaikh Al-Albany dengan mengatakan: “Ada pihak yang mencela Musnad Ahmad, maka mohon dibantah, semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.”
Maka Asy-Syaikh Al-Albany membantahnya dengan menulis kitab Adz-Dzabbul Ahmad ‘an Musnadil Imam Ahmad.
Jadi para ulama memiliki kekhususan dalam bidang tertentu, ulama yang ini spesialisasinya dalam bidang hadits, walaupun beliau juga memiliki keilmuan yang baik dalam bidang fiqih, tetapi spesialisasinya dalam bidang hadits.
Jadi para ulama memiliki kekhususan dalam bidang tertentu, ulama yang ini spesialisasinya dalam bidang hadits, walaupun beliau juga memiliki keilmuan yang baik dalam bidang fiqih, tetapi spesialisasinya dalam bidang hadits.
Sedangkan ulama yang ini memiliki keilmuan yang baik dalam bidang hadits, tetapi spesialisasinya dalam bidang fiqih. Kemudian ulama yang ini memiliki keilmuan yang baik dalam bidang fiqih, tetapi spesialisasinya dalam bidang nahwu, demikian seterusnya. Itu adalah keutamaan dari Allah yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Mereka semua diambil faedahnya.
Kemudian ada ulama yang ini engkau dapati dia sebagai seorang ulama yang mulia yang sangat cerdas dan jarang ada tandingannya dalam membantah ahli bid’ah dan mengetahui dengan cermat dan teliti isi kitab-kitab mereka dan berbagai kesesatan yang disusupkan dalam kitab-kitab mereka.
Maka ulama yang seperti ini bagaimana bisa engkau samakan dengan yang lain?! Bagaimana bisa engkau menyamakan yang ini dengan yang itu?!
Ini merupakan masalah yang sangat penting –baarakallahu fiikum–, dan pembicaraan mengenai masalah ini membutuhkan sebuah risalah yang lengkap. Dan ini bukan berarti merendahkan ulama yang lain.
Dengarkan audionya:
atau download di sini
http://tukpencarialhaq.com/2014/12/01/benarkah-ulama-ada-yang-kibar-dan-ada-juga-yang-selain-kibar/#more-7360
http://tukpencarialhaq.com/2014/12/01/benarkah-ulama-ada-yang-kibar-dan-ada-juga-yang-selain-kibar/#more-7360