Saudaraku fillaah…
Sungguh benar apa yang disampaikan Syaikh Robi’ hafidzhahullah
, bahwa para penyebar kebid’ahan lebih layak ditahdzir dibandingkan para pengedar narkoba. Padahal, para penyebar narkoba adalah pembuat kerusakan yang sangat besar. Namun kerusakan yang ditimbulkan oleh penyebaran kebid’ahan adalah lebih besar dari kerusakan itu.
Jika sekilas kita membaca penjelasan Syaikh Robi’ tersebut, mungkin akan muncul dalam benak kita ungkapan: “Itu kan pendapat satu Ulama’. Pendapat Ulama’ bisa diterima bisa pula ditolak. Ulama’ kan tidak ma’shum”. Bisa benar, bisa juga salah.
Maka kita katakan: Saudaraku, benar pendapat Ulama bisa diterima bisa ditolak. Kita harus menimbang ucapan seseorang, siapapun dia, dengan dalil al-Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman Salaf. Jika Syaikh Robi’ menyatakan suatu ungkapan dari ra’yu (semata logika) beliau, maka tidak ada keharusan kita untuk menerimanya. Tapi, jika beliau menyampaikan sebuah ucapan yang dilandasi al-Qur’an dan Sunnah Nabi, maka sesungguhnya kewajiban kita untuk mengikutinya. Karena kita diperintah untuk mengikuti al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Mari kita kaji kembali dalil-dalil dalam al-Quran dan Sunnah Nabi. Benarkah kebid’ahan lebih dahsyat bahayanya dibandingkan kemaksiatan?
✅Pertama, seperti yang disampaikan Syaikh Robi’ tadi dinyatakan bahwa orang yang melakukan kemaksiatan, seperti mengedarkan narkoba, sesungguhnya ia menyadari bahwa ia melakukan kesalahan. Maka masih lebih besar peluang bagi dia untuk bertaubat, dibandingkan jika dia melakukan kebid’ahan. Karena pelaku kebid’ahan akan menganggap bahwa apa yang dilakukannya adalah kebaikan, mendekatkan diri kepada Allah. Bagaimana ia bisa bertaubat dari sesuatu yang dianggapnya baik. Barulah jika ia tersadar bahwa kebid’ahan itu suatu dosa, pelanggaran syar’i yang sangat besar terhadap hak Allah dan Rasul-Nya, maka ia baru akan bertaubat dari kesalahan itu.
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
إنَّ الله حَجَبَ التَّوْبَةَ عَنْ كُلِّ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua pelaku bid’ah hingga ia meninggalkan kebid’ahannya (H.R atThobarony)
Atas dasar ini, Sufyan ats-Tsaury salah seorang Ulama Salaf yang masa kehidupannya jauh beratus tahun sebelum Syaikh Robi’, menyatakan: :”Bid’ah lebih disukai oleh Iblis dibandingkan kemaksiatan, karena kemaksiatan memungkinkan untuk bertaubat, sedangkan kebid’ahan (sulit diharapkan) untuk bertaubat” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah karya alLaalikaai (1/132))
Hal ini semakin diperkuat dengan penjelasan Ulama’ Salaf lainnya, al-Imam al-Auza’i rahimahullah : “Iblis bertemu dengan pasukannya dan berkata: Dari arah mana kalian datangi anak Adam? Mereka berkata: dari berbagai arah. Iblis bertanya: Bisakah kalian datangi mereka dari (celah) istighfar? Pasukannya berkata: Kami dapati istighfar itu selalu bergandengan dengan tauhid. Iblis berkata: Datangilah mereka dari arah dosa yang mereka tidak akan beristighfar. (al-Auzai kemudian menyatakan): karena itulah kemudian mereka menyebarkan alAhwaa’ (kebid’ahan-kebid’ahan)(Syarh Ushul I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah karya al-Laalikai (1/131))
✅Kedua, kebid’ahan mengakibatkan perubahan dalam Dien. Berbeda dengan kemaksiatan yang tidak sampai merubah aturan Dien. Dengan kebid’ahan, Sunnah Nabi akan dimatikan.
Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ
Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah, kecuali akan terangkat Sunnah yang semisal dengannya (H.R Ahmad dari Ghudhaif bin al-Haarits, dan Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (baik) dalam Fathul Baari (13/253))
Oleh karena itu, jika kita simak karya-karya para Ulama’ Salaf, sikap mereka dalam memerangi kebid’ahan jauh lebih banyak dibandingkan sikap memerangi kemaksiatan. Sebagaimana hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Tulisan-tulisan mereka yang membahas dan membantah bahaya kebid’ahan jauh lebih banyak dibandingkan yang membahas bahaya kemaksiatan. Mereka tidak melupakan untuk membahas bahaya kemaksiatan, tapi porsinya jauh lebih sedikit dibandingkan pembahasan bahaya kebid’ahan.
Jangan lupa dengan ucapan al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah yang mengingatkan kita bahwa bahaya kebid’ahan (al-Ahwaa’) adalah di bawah kesyirikan, namun di atas kemaksiatan. Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:
لَأَنْ يَلْقِيَ اللهُ الْعَبْدَ بِكُلِّ ذَنْبٍ مَا خَلَا الشِّرْكِ بِاللهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَلْقَاهُ بِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الْأَهْوَاءِ
Sungguh seandainya seorang hamba menghadap Allah dengan seluruh dosa selain kesyirikan, itu lebih baik baginya dibandingkan dia menemui Allah dengan membawa dosa dari al-Ahwaa’ (kebid’ahan-kebid’ahan) ini (diriwayatkan oleh al-Laalikaai dalam I’tiqod Ahlissunnah no 1013 (3/570)).
Sehingga, janganlah kita merasa bersyukur bisa menyelamatkan seseorang dari kemaksiatan, jika kemudian ia justru terjerumus ke dalam kubangan kebid’ahan. Justru itu kondisi yang lebih parah dari sebelumnya.
Sebagai contoh, anak muda yang sebelumnya nakal, suka merokok, sering berkeliaran di jalan bersama teman-temannya nongkrong di pinggir jalan. Ada beberapa kemaksiatan yang dia lakukan. Kemudian dia diajak oleh salah satu orang untuk lebih mendekat ke masjid sering sholat berjamaah. Sampai di sini saja, ini adalah suatu dakwah yang baik. Namun, jika anak itu kemudian diarahkan pada kelompok-kelompok yang menyimpang, maka itu sebenarnya mengangkat dia dari kemaksiatan menuju kebid’ahan-kebid’ahan. Dalam kondisi semakin dia mendalami ajaran kelompok itu, semakin ia masuk dalam kebid’ahan. Maka ini sebenarnya menceburkan dia ke pelanggaran yang lebih parah.
Seharusnya, ia diangkat dari lembah kemaksiatan menuju ketaatan yang dibangun di atas Sunnah.
Waffaqallaahul Jami’ (semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua).
(Abu Utsman Kharisman)
WA al-I'tishom